emas batangan dari
perairan Indonesia (surcouf-erick.com)
|
Berbagai
catatan dan dokumen sejarah menyebutkan, bahwa sejak abad ke-7 hingga
abad ke-19 perairan Nusantara telah menjadi kuburan bagi bangkai
kapal-kapal yang tenggelam. Mereka berasal dari kapal-kapal dagang Cina
(dari berbagai dinasti), kapal-kapal Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris, dan Jepang. Serta kapal-kapal lainnya.
Sudah ribuan kapal mengalami nasib buruk sampai akhirnya karam karena berbagai sebab, seperti:
tak kuasa menghadapi badai dan cuaca buruk; kurangnya pengetahuan
navigasi geografis pelayaran sehingga kapal menabrak karang atau
gosong-gosong; atau sebab lainnya seperti kapal –kapal tersebut menjadi
sasaran perompak dan/atau terjadinya peperangan.
Michael Hatcher
Setelah
sekian lama harta-harta karun itu teronggok di dasar laut perairan
Indonesia, para petinggi di negeri ini mulai terbelalak matanya setelah
muncul kasus Hatcher, beberapa tahun silam. Berawal dari peristiwa Michael Hatcher, yang menemukan harta karun di bangkai kapal VOC yang
tenggelam di perairan Riau, Indonesia, beberapa tahun silam. Hatcher
kemudian menjualnya di balai lelang Christie Amsterdam.
Kasus
Hatcher sempat menghebohkan dan mengundang kontroversi berkepanjangan
di Jakarta. Perbuatannya dalam mengangkat harta karun (istilah resminya:
Benda Berharga Muatan Kapal Tenggelam / BMKT) secara ilegal, dinilai
telah merugikan Pemerintah dan bangsa Indonesia.
Namun,
hal itu dibantah Kementrian Luar Negeri Belanda yang menyatakan bahwa
temuan Hatcher itu terjadi di perairan internasional. Bahkan mengklaim
bahwa pihaknya justru pewaris yang sah dari kapal yang tenggelam
tersebut.
Michael Hatcher, Warganegara Australia berkebangsaan Inggris itu, pada 1985, berhasil mengeruk ‘harta
karun’ dari De Geldermalsen, sebuah kapal dagang milik VOC Belanda yang
tenggelam 2,5 abad silam di perairan antara Pulau Mapur dan Merapas,
sekitar 75 mil di sebelah tenggara Tanjungpinang, Indonesia. Tak kurang
dari 150 ribu barang pecah belah antik buatan Cina, plus 225 batang
emas lantakan, kemudian diangkat dan berhasil terjual di Balai Lelang
Christie di Amsterdam dengan total nilai US$ 15 juta. Namun, Pemerintah
Indonesia (kabarnya) tidak kebagian sepeserpun.
Bagaimanapun,
ini sebuah rekor penjualan yang menarik. Lebih menarik lagi, bahwa
Michael Hatcher, selama 15 bulan bisa dengan bebas mengeruk harta karun
di wilayah yurisdiksi Nasional. Meski juru bicara Kementerian Luar
Negeri Belanda, Te B. Oekhorst, menyatakan De Geldermalsen ditemukan di
perairan internasional.
Jadi,
kalau ada orang yang mengatakan De Geldermalsen ditemukan di perairan
Indonesia, menurut Oekhorst, itu tidak benar. Sebab, sebelum lelang itu
dilakukan, pemerintah Belanda telah mengirimkan surat pemberitahuan pada
pemerintah Indonesia yang menerangkan, De Geldermalsen di temukan di
wilayah perairan internasional. "Di samping itu, tentu saja kami
merupakan pewaris yang sah dari kongsi dagang VOC," tutur Oekhorst
sebagaimana dikutip majalah Tempo (Edisi N0.43/XXXIII 20 Desember 2004).
geldermalsen (surcouf-erick.com) |
Terlepas
dari polemik tentang lokasi penemuan de Geldermalsen, dampak dari kasus
ini ternyata membawa hikmah. Bahwa sejak itu, Pemerintah Indonesia
mulai memberikan perhatian terhadap masalah pengawasan, pengusahaan dan
pemanfaatan Benda Berharga asal Muatan Kapal Tenggelam (BMKT).
Pemerintah kemudian membentuk Panitia Nasional Benda Berharga Asal
Muatan Kapal Tenggelam (PANNAS BMKT), sebagai respon sekaligus agar
tidak terulang kejadian serupa pada masa mendatang.
Kenyataannya,
Michael Hatcher tetap bebas berkeliaran di Indonesia untuk mendulang
harta karun baik secara legal maupun illegal. Joe Marbun, Koordinator
Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA), dalam Diskusi Publik di PSAP
Universitas Gadjah Mada, pada 12 September 2009, menyatakan bahwa: pada
awal Januari 2001, Michael Hatcher diketahui kembali beroperasi di
perairan Tidore-Ternate, digandeng oleh PT Tuban Oceanic Research and
Recovery (TORR). Kegiatan ini di luar kontrol Panitia Nasional, karena
ketika pihak TORR mengajukan permohonan security clearance, nama Hatcher tidak ada.Belakangan baru diketahui ketika terjadi pengangkatan BMKT.
Kejadian
itu terulang pada bulan Oktober 2004, dimana PT Marindo Alam Internusa
(MAI), sebuah perusahaan pengangkatan baru, mengajukan permohonan izin
survei ke Panitia Nasional. Dalam permohonan ijin survei tertulis nama
Michael Hatcher sebagai pemimpin survei dilampiri berbagai macam dokumen
kerja. Nama
Michael Hatcher disodorkan oleh Dewan Komisaris perusahaan tersebut ke
Pannas BMKT, setelah mendapat lampu hijau dari Menteri Kelautan Rokhim
Dahuri (saat itu).
Yang terakhir adalah pengangkatan Harta karun di Cirebon oleh PT. Paradigma Putera Sejahtera pada 2004 dan selesai diangkat pada 2005, yang kemudian mengundang silang pendapat antara Kepolisian RI dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Yang terakhir adalah pengangkatan Harta karun di Cirebon oleh PT. Paradigma Putera Sejahtera pada 2004 dan selesai diangkat pada 2005, yang kemudian mengundang silang pendapat antara Kepolisian RI dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Pihak
Kepolisian menganggap bahwa pengangkatan tersebut illegal karena tidak
ada ijin pengangkatan dari Menteri terkait, yaitu Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya.
Sementara
dasar hukum yang dipakai DKP ialah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
107 Tahun 2000 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan
Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam. Polisi tetap menyita kapal
MV Sirren yang merupakan sewaan PT Paradigma Putera Sejahtera yang
sedang lego jangkar di pelabuhan Marunda. (Majalah Gatra No.18 Senin, 13/03/2006 dan Laporan Tahunan 2008 Pannas BMKT).
Panitia Nasional (Pannas) Harta Karun
Sebagaimana
diketahui, PANNAS BMKT dibentuk berdasarkan Keppres N0. 43/1998.
Ketuanya adalah Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
(Menkopolkam). Keppres yang dibuat pada masa Presiden Soeharto itu,
kemudian dicabut pada masa Pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus
Dur) dengan lahirnya Keppres No 107/2000 tentang PANNAS BMKT, yang
diketuai oleh Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan (sekarang Menteri
Kelautan dan Perikanan).
Diantara
selang waktu lahirnya kedua Keppres itu, yaitu pada1992 Pemerintah
mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cagar Budaya, yang kemudian
disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menjadi
Undang-Undang (UU) No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Inilah antara
lain yang kemudian menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan aparatur
penegak hukum (Kepolisian) dengan Departemen Kelautan dan Perikanan
dalam memandang kasus pengangkatan BMKT.
Dari
berbagai kasus pencurian dan pengangkatan ilegal, baik di masa lalu
maupun yang hingga kini masih berlangsung di berbagai tempat, merupakan
isyarat bahwa peluang bisnis penggalian harta karun di perairan
Indonesia memang menggiurkan. Dan tetap mengundang siapa saja untuk
mengadu nasibnya. Baik pengangkatan yang dilakukan secara terencana dan
besar-besaran dengan bantuan peralatan dan teknologi maupun upaya-upaya
pencarian secara manual tradisional. Meskipun sejak kasus Hatcher
mencuat, memang belum terdengar lagi ‘cerita sukses’ dari mereka yang
berhasil mengangkat harta karun secara legal.
Potensi Besar
Potensi Besar
Sebenarnya, perairan
Indonesia itu, ibarat museum di dasar laut yang menyimpan beragam
benda-benda berharga dari bangkai kapal-kapal yang tenggelam. Dalam
berbagai dokumen sejarah terungkap bagaimana ramainya selat Malaka dan
selat Bangka dari hilir mudiknya berbagai kapal dagang dari Eropa, Cina
dan Timur Tengah. Tidak sedikit kapal-kapal asing yang datang itu
membawa muatan penuh untuk tujuan berdagang.
dari kiri: Nick (Australia), Paul (Perancis) dan Mayor Dadan, pada Pengangkatan di Cirebon, Indonesia 2008 [private doc] |
Jika hasil-hasil riset,
studi literatur dan dokumen sejarah dipadukan dengan kecanggihan
teknologi masa kini, akan sangat memudahkan upaya merekonstruksi mengapa
sebuah kapal tenggelam dan bagaimana memindai dengan akurat lokasi
sebuah kapal tenggelam. Bahkan menentukan barang-barang berharga apa
saja yang terkubur dari sebuah kapal dagang yang tenggelam! Dan yang tak
kalah menarik, anak-anak sekolah kita bisa mendapat informasi dan
pemahaman yang lebih baik dari adanya temuan-temuan baru yang menjadi
dasar penulisan sejarah.
Potensi
harta karun, bagi Pemerintah, tentunya bisa menjadi sumber penerimaan
non pajak yang signifikan terhadap anggaran belanja negara. Sedangkan
bagi pengusaha dan investor swasta nasional maupun asing, tentunya
merupakan peluang yang sangat menggiurkan.
Harta
karun tetap selalu memberikan daya pikat luar biasa, karena selain
bernilai ekonomis tinggi juga bisa memberikan sumbangan yang luar biasa
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan sejarah.
Para
pengusaha dan investor (nasional dan asing) sudah saatnya didorong
untuk berpartisipasi dalam pengusahaan dan pemanfaatan BMKT secara legal
dengan mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Jika
Pemerintah meragukan (baca: mencurigai) pihak swasta, maka sudah
selayaknya Pemerintah sendiri yang memprakarsai upaya penggalian /
ekskavasi harta karun tersebut dari dasar laut, yang hasilnya dapat
dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, yang
kini selalu kekurangan dana untuk pengembangan pendidikan, pelayanan
kesehatan mendasar dan upaya pengembangan ilmu pengetahuan.
Potensi Harta Karun ini tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Sejumlah
lokasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen
Indonesia menurut Data yang diterbitkan Ditjen P2SDKP, Departemen
Kelautan dan Perikanan, menjadi tempat kapal-kapal tenggelam.
Lokasi Kapal Tenggelam di Perairan Indonesia
No
|
Daerah
|
Lokasi
|
1
|
Selat Bangka
|
7
|
2
|
Belitung
|
9
|
3
|
Selat Gaspar, Sumatera Selatan
|
5
|
4
|
Selat Karimata
|
3
|
5
|
Perairan Riau
|
17
|
6
|
Selat Malaka
|
37
|
7
|
Kepulauan Seribu
|
18
|
8
|
Perairan Jawa Tengah
|
9
|
9
|
Karimun Jawa, Jepara
|
14
|
10
|
Selat Madura
|
5
|
11
|
NTB/NTT
|
8
|
12
|
Pelabuhan Ratu
|
134
|
13
|
Selat Makassar
|
8
|
14
|
Perairan Cilacap, Jawa Tengah
|
51
|
15
|
Perairan Arafuru, Maluku
|
57
|
16
|
Perairan Ambon, Buru
|
13
|
17
|
Perairan Halmahera, Tidore
|
16
|
18
|
Perairan Morotai
|
7
|
19
|
Teluk Tomini, Sulawesi Utara
|
3
|
20
|
Irian Jaya
|
32
|
21
|
Kepulauan Enggano
|
11
|
Total
|
464
|
Sumber : Ditjen P2SDKP
Jika
kita ingin mengundang kalangan swasta nasional atau asing, sudah jelas
pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan, regulasi serta
pengawasan yang komprehensif, objektif dan transparan.
Keramik (DKP. doc Jakarta) |
Selain
perlunya koordinasi yang lancar antar instansi terkait ; juga harus
tersedia sarana dan prasarana yang mendukung; penyediakan informasi
publik yang lengkap dan jelas termasuk prosedur dan pedoman teknis di
lapangan agar tidak menyimpang dari kaidah arkeologis; serta
model-model skim penawaran kerjasama operasi dengan perusahaan
nasional/asing, berikut aturan main dan pola bagi hasilnya. Jika
semua prosedur tersedia dengan lengkap, mudah, dan transparan, tanpa di
undangpun para pemburu harta karun dari berbagai belahan bumi ini,
dipastikan akan berdatangan.
Sampai
saat ini, masalah pengawasan BMKT pasca pengangkatan, yang sesuai
dengan kaidah-kaidah arkeologis terutama di tempat-tempat konservasi
dan/atau gudang-gudang penyimpanan, belum dilakukan secara optimal,
sehingga membuka kemungkinan jatuhnya sebagian (atau seluruh) hasil
pengangkatan kepada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Seperti
hilang karena dicuri, penggelapan, pemalsuan dan lainnya.
Setelah
benda berharga berhasil diangkat dari dasar laut, hasilnya harus
diprioritaskan untuk kepentingan pelestarian sejarah, kebudayaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan sumbangan bagi pengembangan
peradaban dunia di bawah pengawasan UNESCO. Sebagian lain, silahkan dibagi antara Pemerintah dengan pihak swasta yang telah melakukan pengangkatan dan investasi.
Sumber : indonesiawaters
0 comments:
Post a Comment